Kepulauan Nias, bnewsnasional.id– Pernyataan kontroversial Anggota DPRD Provinsi Sumatera Utara, Pdt. Berkat Laoli, yang menyebut “lebih baik Nias merdeka jika tidak ditetapkan sebagai bencana nasional”, menuai gelombang kecaman luas.
Kali ini, Organisasi Masyarakat Gerakan Perjuangan Nias (GAPERNAS) secara tegas membantah dan mengecam keras narasi tersebut.
Ketua Pendiri GAPERNAS Kepulauan Nias, Suar Natal Waruwu, A.Md, menilai pernyataan itu tidak pantas, berbahaya, dan berpotensi memecah persatuan bangsa.
Ia menegaskan, isu bencana tidak boleh ditarik ke arah yang dapat mencederai keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
“Pernyataan ini tidak bisa dianggap sepele. Narasinya dapat ditafsirkan sebagai provokasi dan berpotensi menghasut masyarakat. Jangan bermain-main dengan isu kedaulatan negara,” tegas Suar Natal Waruwu saat ditemui wartawan di Kantor Pusat GAPERNAS, Jalan Mohammad Yamin No.12, Kelurahan Pasar, Kota Gunungsitoli, Senin (15/12/2025).
Menurut Suar, pernyataan Berkat Laoli telah memicu kegaduhan nasional. Dalam beberapa hari terakhir, isu tersebut viral dan memancing reaksi keras dari relawan kemanusiaan, tokoh masyarakat, hingga aktivis di dalam dan luar Pulau Nias.
Ia menekankan bahwa isu kemanusiaan tidak boleh dicampuradukkan dengan ancaman atau narasi kemerdekaan.
“Rakyat Nias butuh solusi nyata, bukan pernyataan emosional yang bisa disalahartikan dan merugikan daerah ini sendiri,” ujarnya.
GAPERNAS juga meminta Ketua Umum Partai NasDem untuk bersikap tegas dan melakukan evaluasi terhadap pernyataan kadernya. Menurut Suar, pernyataan tersebut berpotensi merusak citra berbangsa dan bernegara dan perjuangan masyarakat Nias yang selama ini mengedepankan persatuan dan pembangunan.
GAPERNAS menyoroti narasi di media sosial yang mengaitkan lambannya penanganan bencana dengan ancaman “sikap merdeka”. Narasi tersebut dinilai sangat berbahaya dan dapat menciptakan stigma bahwa Nias dianaktirikan atau ditelantarkan oleh negara.
“Framing seperti ini seolah-olah menghina pemerintah pusat dan memperkeruh suasana. Padahal yang dibutuhkan rakyat adalah kerja cepat, bukan konflik narasi,” kata Suar.
Sejumlah tokoh masyarakat juga menegaskan bahwa kritik terhadap pemerintah adalah hak konstitusional warga negara, namun harus disampaikan secara santun, bermartabat, dan sesuai hukum.
Di sisi lain, masyarakat tetap mendesak pemerintah pusat agar bertindak cepat dan serius menangani dampak bencana di Kepulauan Nias.
“Jangan sampai negara baru hadir setelah rakyat menderita atau jatuh korban jiwa. Bantuan harus dipercepat,” ungkap seorang relawan kemanusiaan berinisial AS.
Secara hukum, penetapan bencana nasional diatur dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Pasal 7 dan 51 menegaskan bahwa kewenangan tersebut berada pada pemerintah pusat, dengan mempertimbangkan skala dampak, jumlah korban, dan tingkat kerusakan.
Sementara itu, kebebasan berpendapat dijamin oleh Pasal 28E ayat (3) UUD 1945, namun tetap dibatasi oleh hukum, moral, dan ketertiban umum.
Adapun KUHP Pasal 106 dan 110 mengatur larangan makar atau ajakan pemisahan wilayah dari NKRI. Pernyataan publik yang mengarah pada hal tersebut berpotensi memiliki konsekuensi hukum, meskipun disampaikan dalam konteks protes.
Meski demikian, GAPERNAS menegaskan bahwa penilaian hukum sepenuhnya menjadi kewenangan aparat penegak hukum, bukan opini publik.
GAPERNAS mengingatkan seluruh pihak agar tidak menjadikan penderitaan rakyat sebagai alat konflik politik. Bencana adalah persoalan kemanusiaan yang harus dijawab dengan kehadiran negara, bukan ancaman yang memecah persatuan.
“NKRI adalah harga mati. Kemanusiaan adalah panggilan nurani. Mari bersuara dengan akal sehat dan tanggung jawab,” tutup Suar Natal Waruwu.(***)
Editor : Redaksi